Tentu saja karena karya sastra menyajikan pengalaman-pengalaman para pelaku sejarah secara lebih personal dan partikularis.
Tokoh-tokoh itu bergerak, berbicara, bersenyawa dalam benak imajinasi pembaca, sehingga pembaca dapat turut merasakan, meresapi, dan bahkan berempati dengan peristiwa yang menimpa para tokoh imajinatif itu yang sesungguhnya kalau ditelusuri jejaknya pasti ada tokoh yang serupa di alam nyata.
Berbeda dengan teks sejarah yang lebih mengemukakan urutan kejadian dan cenderung mengabaikan sisi kedalaman psikologis. Tentu saja ini berkaitan erat dengan teknis penyajian.
Kaitannya dengan paparan tersebut, salah satu alternatif karya sastra yang dapat digunakan sebagai bahan untuk menelusuri serta mendalami sejarah bangsa Indonesia adalah novel Mei Hwa dan Sang Pelintas Zaman.
Novel ini merekam riuh rendah sejarah Indonesia sejak runtuhnya Hindia-Belanda, kedatangan tentara Nippon, peristiwa G30S/PKI, sampai huru-hara Mei 1998.
