Beberapa tahun berselang dari waktu perpisahan orang tuanya, tentara Jepang datang menjejak tanah Jawa, menggantikan kekuasaan Belanda. Kedatangan bangsa penjajah ini menyeret Sekar Ayu dalam perbudakan syahwat bernama jugun ianfu (hlm. 132, 153).
Lepas dari cengkeraman bangsa kulit kuning berperawakan cebol, Sekar Ayu kembali terjerembab. Kali ini ke Kamp Plantungan, karena kedekatannya dengan anak seorang petinggi Partai Komunis Indonesia (hlm. 268-280).
Perempuan kedua bernama Mei Hwa; gadis keturunan Tionghoa. Sedari kanak-kanak, Mei Hwa dididik untuk tidak bergaul dengan kaum pribumi.
Ia dididik untuk mencukupkan diri bergaul dalam lingkaran etnisnya sendiri saja. Kita barangkali sudah mafhum, bahwa hubungan kaum pribumi dengan Tionghoa memang seperti seutas tali getas.
Salah satu ingatan sejarah seperti geger pecinan yang menyebabkan jebolnya dinding keraton Kartasura barangkali sukar dimaafkan dan tidak dapat mengelupas begitu saja dari benak.
Namun persinggungannya dengan Firdaus; seorang aktivis kampus berdarah asli pribumi, berangsur-angsur menimbulkan simpati Mei Hwa pada kaum yang sebelumnya dihindarinya setengah mati.
